Kakakdewa

Selasa, 20 September 2016

Berpikirlah 2 Kali Jika Ingin Menikah Muda

Faktor usia sempat menjadi perbincangan publik, sebab Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 6 mempersyaratkan batas minimum lelaki menikah saat berusiua 19 tahun dan wanita 16 tahun. Alasan paling populer karena menikah muda adalah demi menghindari zina.


Tak heran jika Indonesia merupakan negara kedua setelah India dengan tingkat pernikahan muda tertinggi di dunia.

Sayangnya pernikahan bukan solusi yang serta merta menuntaskan semua persoalan hidup bagi pasangan belia. Tidak semua orang sukses menjalani pernikahan di usia muda. Data Kementerian Agama menunjukkan pasangan muda paling banyak bercerai sepanjang lima tahun terakhir.

Dari 347.256 kasus perceraian tahun lalu yang ditangani pemerintah, 90 persennya diajukan perempuan. Sepertiga penggugat berusia di bawah 35 tahun.

Data serupa didapatkan merdeka.com saat menyambangi Pengadilan Agama Jakarta Selatan pekan lalu. Biduk rumah tangga pasangan muda justru hancur lebur karena faktor usia mereka, yakni Ketiadaan kemampuan untuk mencari nafkah memadai. Dari 100 perceraian setiap bulan, separuh lebih adalah pasangan muda.

Jiwa muda itu, yang kadang masih membutuhkan ruang aktualisasi diri, kerap memicu pasangan muda pisah jalan di pengadilan.

Mereka yang cerai ini biasanya berusia 25-35 tahun. Mereka engga ada komitmen, belum siap menikah, kata Rusdi, Anggota Majelis Hakim PA Jakarta Selatan.

Ketiadaan titik temu soal metode pengasuhan anak berpengaruh pula pada keputusan pasangan muda bercerai. Saat dihubungi merdeka.com, Psikolog Keluarga Kasandra (49) menilai isu pengasuhan sering dilupakan padahal penting sebelum lelaki-perempuan memutuskan berumah tangga.

Dalam banyak kasus berujung perceraian, Kasandra menilai suami terlalu mengandalkan sepenuhnya istri mengurus anak. Sedangkan istri berharap suami membantunya mengasuh di saat-saat tertentu.

Misal istri engga boleh keluar, harus ngurus anak di rumah saja itu juga kekerasan. Nah ini ujung-ujungnya cerai, paparnya.

Berdasarkan data yang dimiliki Kasandra, sebanyak 50 persen ibu melahirkan di Tanah Air masih berusia di bawah 20 tahun. Dia mengingatkan bahwa jika perempuan sudah melahirkan di usia itu, hampir pasti pendidikannya tidak akan berlanjut ke jenjang tinggi semisal diploma atau Strata 1.

Tingkat pendidikan akan berpengaruh pada kemampuan sang ibu memberi asupan gizi, pola mengasuh, sampai kesadaran agar anak memperoleh lingkungan tumbuh kembang terbaik. Kasandra yang sudah 24 tahun menjadi psikolog ini menyatakan bahwa Indonesia butuh hukum yang pasti untuk melindungi mereka para penikah muda agar tidak boleh menikah pada batas waktu atau syarat yang ditentukan, misal pada batas harus menikah minimal usia 18 tahun dan minimal mempunyai ijazah.

Kalau memang harus menikah muda, ya tunda kelahiran dan otomatis kesehatan dan pendidikian harus lebih baik, Kalau engga dilakukan seperti itu, kualitas orang tua akan turun, dan anak-anak juga tak berkualitas, jangan harap perceraian menurun, tandasnya.

Sosiolog Musni Umar punya pandangan lain terkait meningkatnya angka perceraian di Indonesia. Dia tidak menampik jika pasangan muda yang tidak siap membina rumah tangga sebagai pemicunya.

Namun kebiasaan sebagian masyarakat di Tanah Air juga berpengaruh. Di wilayah yang sistem ekonominya agraris, pernikahan sejalan dengan masa panen. Keputusan semacam itu akhirnya rentan berujung pada perceraian, terutama di kota-kota kecil.

Pada masa paceklik atau masa sulit, mereka memilih cerai. Cerai dianggap suatu hal yang biasa, kata Umar.

Migrasi, keterpisahan jarak antara suami-istri, serta maraknya jejaring sosial menurut Umar turut berpengaruh pada tingginya angka perceraian.

Namun, seperti Kasandra, sosiolog senior ini berharap pemerintah merespon tingginya angka perceraian dengan cara menggelar penyuluhan agar pasangan muda tidak buru-buru kawin. Bagaimanapun pasangan dewasa akan lebih stabil pernikahannya.

Sedangkan di usia muda, Umar khawatir gangguan medsos bisa mempengaruhi nasib rumah tangga. Di media sosial mudah bergaul dengan satu sama lain. Misal ada lelaki hidung belang mencari mangsa entah mangsanya sudah punya suami atau tidak, itu menjadi faktor pendorong penceraian, urainya.
Kakakdewa