Dilansir dari karya Nadya Labi di www.theatlantic.com yang berjudul The Kingdom in the Closet, Nadya menuliskan bahwa di Arab Saudi, hukuman bagi pelaku sodomi adalah hukuman mati. Tapi ironisnya, kehidupan gay di sana berjalan leluasa. Yasser, 26 tahun, seorang gay, mengatakan: “Di sini jauh lebih mudah menjadi gay dari pada straight.”
Sekalipun homoseksual dihujat dan diancam hukuman mati, Kerajaan Saudi juga memberikan ruang yang luas kepada kaum homoseksual. Selama pelaku homosexual dapat memberi kesan serta tampilan "normal" di depan umum, mereka akan aman melakukan apa saja di tempat pribadi yang tertutup.
Polisi moral atau mutawwa hanya merazia pasangan yang berbeda gender yang bukan muhrim di tempat-tempat umum. Kita dapat dengan mudah melihat lelaki berkumpul dengan lelaki di sekolah, café dan internet. Demikian juga cewek berkumpul dengan cewek.
Putri Sultana dalam buku Trilogy Princess mengatakan bahwa putri kerajaan yang jumlahnya puluhan ribu itu, beberapa dari mereka saling menggoda saat berkumpul. Kekerasan seksual dan hinaan dari suami yang biasanya lebih berpendidikan dibanding istri, menjadi salah satu penyebab para wanita itu saling menaruh rasa simpati.
Tatanan sosial yang sangat keras memisahan gender di negara tersebut menyebabkan homoseksual tumbuh subur. Dalam usia remaja yang sedang bergairah, perempuan dan pria yang bukan muhrim sangat terlarang bersama dalam satu ruangan atau tempat, tapi sangat bebas bereksperimen dengan sesama jenisnya.
Orang tua tidak akan mempertanyakan anak lelakinya yang membawa teman lelakinya ke rumah. Tidak akan ada juga yang bertanya apa yang mereka lakukan di apartemen atau kamar hotel. Tapi mereka akan mendapat hukuman cambuk bila mendapati lelaki dan perempuan yang bukan pasangan suami istri.
Yasmin (21 tahun), seorang mahasiswi di Riyadh, mengaku pernah mempunyai hubungan cinta sejenis saat di SMA. Gedung sekolahnya memiliki kamar mandi besar sehingga menyediakan privasi bagi mereka untuk berhubungan. Gadis ini juga mengakui bahwa wanita yang menyukai wanita semakin banyak jumlahnya. Dia juga menceritakan bahwa di salah satu bagian sekolahnya ada yang disebut Sudut Lesbian.
Yasmin mengatakan bahwa saudara lelakinya yang berumur 16 tahun bersama teman lelaki seusianya telah menjadi target seks (korban sodomi) oleh para lelaki yang lebih tua dari mereka. Dan ini menjadi lingkaran setan bahwa suatu saat si korban akan mencari korban saat dia sudah dewasa.
Kondisi ini diterangkan demikian oleh Dave, seorang pendidik dari Amerika yang tinggal di Jeddah, “Kita akan melihat sekelompok pria dewasa duduk bergerombol sambil berbincang di café. Jika seorang anak lelaki ganteng lewat, mereka semua akan terdiam dan mengamati anak tersebut. Setelah itu saling melontarkan komen untuk menilai anak itu.”
Seorang gay yang berwajah cantik mengaku setiap hari mendapat telpon untuk berkencan dengan pria beristri. Para pria itu akan memilih gay untuk penyalur hasratnya dikala istri mereka sedang hamil atau menstruasi.
Salah seorang nara sumber yang di wawancarai Nadya bernama Jamie, 31 tahun, peñata bunga yang tinggal di Jeddah mengatakan, “Waktu pertama kali aku tinggal di sini, aku ketakutan ketika 6 atau 7 mobil mengikutiku saat aku berjalan di jalan raya. Bila kamu lelaki cantik seperti aku, mereka tidak akan berhenti mengejarmu.”
Tapi yang terasa lucu adalah, bahwa lelaki ini menolak disebut gay walaupun melakukan hubungan intim dengan lelaki. Mengapa demikian? Karena ada aturan main bahwa lelaki yang “di bawah” itulah yang gay sedangkan yang “di atas” adalah lelaki tulen. Maksudnya tentu posisi saat berkencan. Persepsi yang menarik bukan? Aku hanya bingung apakah mereka tidak mengenal istilah “lady on top”?
Sesungguhnya mereka ingin mengatakan bahwa yang di atas adalah orang yang mengontrol, merujuk pada lelaki. Dan yang di bawah adalah objek yang dikontrol, merujuk pada wanita. Dan mereka tetap memandang rendah pada “lelaki yang di bawah” dengan mengatakan “gay tidak normal. Semua orang bisa menjadi yang “di atas” tapi hanya gay yang “di bawah”. Jadi mereka tidak malu dan merasa tetap “normal” dalam hubungan seksual itu.
Situs pertemanan homosexual sangat menjamur di sana. Ada satu kriteria yang banyak dicari, yaitu “men willing to be penetrated”. Jadi yang mengindikasikan dirinya seperti itu dianggap pihak yang “di bawah”. Seorang pria di internet juga mengatakan bahwa dia sesungguhnya lebih memilih bersama wanita bila ada, tetapi sangat sulit, sedangkan pria bebas tersedia kapan saja dan di mana saja.
Banyak kaum gay ekspatriat yang merasa lebih nyaman tinggal di Ryadh atau kota-kota lain di Arab Saudi daripada di tempat asal mereka. Mereka menyebut di sana adalah surganya gay. Kaum ekspatriat itu berasal dari berbagai negara, misalnya Amerika Serikat, negara-negara di Eropa, dan Asia.
Persepsi warga Saudi yang mengatakan bahwa mereka bukan gay memang menjadi aneh di telinga masyarakat barat. Setidaknya, mereka adalah biseksual. Walaupun mereka menyangkal bahwa mereka bukan gay tapi mereka juga tidak bisa meninggalkan kehidupan bersama lelaki lainnya. Dave mengatakan, menjalani kehidupan ganda adalah normal di sana. Satu kehidupan mereka memiliki istri dan anak-anak, di satu kehidupan lain mereka tidak mampu meninggalkan hubungan sejenis.
Seberapa banyakkah jumlah gay di Arab Saudi? Walaupun mereka takut pada mutawwa, tapi mereka yakin bahwa keluarga Kerajaan tidak tertarik melakukan pengejaran kaum gay. Karena upaya tersebut mungkin akan mengekspos anggota keluarga kerajaan.
“Jika mereka ingin menangkap semua gay di Arab Saudi…" demikian kata Misfir, di ruang percakapan internet dengan Nadya Labi, “…mereka harus memasang pagar penjara di seluruh negeri.” Demikianlah jumlah gay di negara itu.
Pemerintah Saudi Arabia sepertinya tidak merasa terganggu dengan hal ini karena angka kawin mawin antara pria dan wanita masih tinggi, dan anak sebagai penerus keturunan pun masih berkelanjutan.
Jumlah gay yang cukup tinggi ini tentu dapat dikurangi bila Arab Saudi mau merubuhkan dinding tebal yang membatasi interaksi pria dan wanita. Paling tidak bila pria dan wanita dapat bertemua secara terbuka, tidak akan mengalihkan preferensi seksual mereka kepada sejenis. Sehingga jumlah gay tidak akan meningkat karena kondisi sosial. Gay akan tetap ada tapi karena faktor genetik dan hal-hal lain yang prosentasinya sangat kecil.
(Dilansir dari sini)