Persahabatan bisa terjalin tanpa mengenal ras, suku, agama, dan usia. Mungkin inilah yang tersirat dari kisah persahabatan Suster Atanasia dan sejumlah guru-guru Muslim di Taman Kanak-Kanak Kucica di Semarang.
Kedekatan mereka yang terjalin setahun terakhir ini berawal dari pertemuan dalam kegiatan Himpunan Pendidik dan Kependidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) Kabupaten Semarang.
Suster Atanasia, 56 tahun, adalah biarawati dari Kongregasi Abdi Kristus yang aktif dalam dunia pendidikan. Lewat kegiatan Himpaudi, dia dan sejumlah guru TK Kucica sering bertemu dan mengadakan acara-acara bersama.
“Sering latihan bareng. Kalau ada acara di sekolah St. Theresia kami selalu datang. Bahkan dikenalkan dengan suster lainnya. Semua ramah," kata Deasy Irawati, salah satu guru TK Kucica.
Lambat laun, interaksi mereka tak hanya melulu terkait kegiatan organisasi, tapi kian personal. Guru-guru muda yang semua berjilbab tak pernah merasa risih ketika datang ke kompleks asrama dan Sekolah Mardi Rahayu, Ungaran, tempat biarawati tinggal. Pun sebaliknya, ketika suster bertandang ke TK Kucica.
"Orangnya asyik dan fun ngobrol apa saja. Jadi kami merasa kalau Ibu tidak hanya seorang suster tapi juga ibu dan teman," imbuh Deasy.
Para perempuan berkerudung
Bagi mereka agama bukan penghalang atau pembatas untuk menjalin kebersamaan, kata Nonie Arnie, wartawan di Semarang melaporkan untuk BBC Indonesia.
Mereka tampak begitu klop bekerja sama ketika menampilkan tari anak 'zunea-zunea' dalam acara Jumpa Hati Perempuan Lintas Agama di halaman Gereja Katolik Kristus Raja, Rabu (09/03).
Tak hanya Suster Ata dan guru TK Kucica yang berpartisipasi dalam acara itu, ratusan perempuan yang mewakili komunitas Muslim dan Kristiani datang untuk menyerukan persahabatan, toleransi, dan pesan pluralisme. Partisipan semakin bertambah ketika mereka juga berkunjung ke Masjid Jami’ Istiqomah yang berada persis di depan gereja.
“Ini menjadi titik awal perempuan lintas agama bersama-sama mengambil peran untuk perdamaian dan semangat kemanusiaan,” ujar koordinator acara Yulia Silalahi dari Kongregasi Penyelenggaraan Ilahi.
_______________________________________________
Seperti apa acaranya? - Nonie Arnie, wartawan di Semarang bercerita:
"Konsepnya menarik, apalagi ketika ada dua Budi yang berbeda keyakinan tampil di atas panggung. Kyai Budi dan Romo Budi sama-sama berbicara soal cinta yang universal. Di sela-sela, ada pertunjukan dan musik-musik bertema kasih dan kemanusiaan. Menyentuh, begitu humanis, saya pun ikut terenyuh. Mereka tidak bicara saya Islam, kamu Kristen, tapi bicara persaudaraan."
________________________________________________
Sempat ditentang
Semangat pluralisme dan toleransi kemudian dituangkan dalam penandatangan bersama di kain putih dan Deklarasi Persaudaraan Perempuan Lintas Agama.
Isinya memuat empat hal penting dari tujuan pertemuan. Di antaranya, rasa syukur atas perjumpaan yang disemangati rasa persaudaraan, tekad menjadi promotor perdamaian dengan menjunjung rasa saling memahami, mengamalkan keyakinan untuk kerukunan di semua lingkup, serta tekad terus merajut dialog dan kerja sama dengan prinsip kebudayaan dan kemanusiaan untuk mewujudkan dan membangun peradaban yang lebih baik.
“Semua menyatu saling mengenal, mengasihi, tanpa melihat agama. Terharu dan terenyuh ya. Kunjungan ke masjid juga disambut hangat. Harapannya terus berjalan dalam kehidupan sehari-hari,” kesan Titik Sudarwati, warga Ungaran.
Walau banyak diapresiasi, acara ini sempat ditentang oleh sebagian kalangan. Bahkan, ada yang mengurungkan niat untuk berpartisipasi. Penyelenggara mengatakan ada sedikit acara yang diubah untuk menghindari gejolak. "Ada yang tetap ikut meski diteror dan dibully. Merata antara Muslim, Katolik, Kristen.”
Perempuan adalah 'agen perubahan'
Acara tersebut diinisiasi oleh Forum Persaudaraan Perempuan yang dibentuk 18 Februari lalu, menjawab keresahan terhadap maraknya kasus intoleransi di Indonesia.
Perempuan-perempuan muslimat dari Fatayat Nahdlatul Ulama (NU), Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU), perempuan Katolik, Kristen dan para suster dari berbagai Tarekat di Semarang kemudian menggelar pertemuan untuk memaknai peran perempuan bagi bangsa.
“Kita akan mengetahui perbedaan lewat perjumpaan. Itu gagasan awal,” jelas Yulia Silalahi.
Dirinya menyakini perjumpaan adalah ruang yang dapat dimanfaatkan untuk menemukan ketidaktahuan, menciptakan pemahaman yang muncul dari interaksi dan dialog. Terlebih lagi menurutnya, perempuan mempunyai posisi strategis sebagai agen perubahan untuk mengubah dunia. Perempuan bisa menciptakan perdamaian dari lingkup terkecil.
“Kerudung beda, perjuangan dan nilai-nilai sama kita wujudkan dengan bergandengan tangan. Sekat akan makin hilang. Ini pesan untuk seluruh warga dunia. Ya, kita tidak tahu apa tantangan ke depan, makanya harus terus bergerak dan bertindak sesuai kapasitas,” tandas Yulia.